Abdulharis.ac.id, Makassar – Desa saat ini menjadi sebuah institusi yang “berpunya”. Saya berkunjung ke Desa Gunturu di Bulukumba, APBDes-nya mencapai 1,7 Milyar setahun. Dari angka milyaran ini, uang dari desa sebagai PAD mencapai 20 juta. Ini dapat diartikan betapa uang yang masuk ke desa mencapai milyaran, sementara dana yang dikumpulkan dari kalangan desa sendiri sebanyak puluhan juta.
Itu satu hal. Hal lain adalah dimana desa juga bisa menjadi ajang kolaborasi. Desa Samangki di Maros, menjadi tuan rumah KKN Kolaboratif yang diikuti STAI DDI Maros sebagai tuan rumah, kemudian hadir IAI Al Amanah Jeneponto, juga STAI Yapnas Jeneponto, STKIP Muhammadiyah Barru, IAI DDI Sidenreng Rappang, dan STAI Al Furqan, Makassar.
Dalam KKN kolaboratif tersebut kemudian menghasilkan sinergi antar perguruan tinggi. Termasuk pula Dewan Pendidikan Kabupaten Maros (DPK Maros) sebagai bagian dalam program. Dengan keberadaan 6 perguruan tinggi ditambah DPK Maros menjadi kesempatan mengelaborasi bagian pendidikan dan juga pengalaman lapangan untuk kemudian bersama-sama masyarakat desa untuk bekerja.
Paling tidak, keberadaan mahasiswa KKN bisa menjadi kesempatan bagi murid dan siswa untuk sama-sama belajar. Empat bulan sebelum itu juga, STIA Abdul Haris dan Pascasarjana STAI Al Furqan berada di salah satu masjid di Desa Samangki untuk belajar bersama dengan masyarakat desa.
Pelbagai aktivitas dilaksanakan bersama 6 perguruan tinggi tersebut. Diantaranya mengajar mengaji, pengolahan hasil panen, dan juga mengakselerasi kegiatan madrasah di desa.
Maka, desa bukan hanya menjadi binaan. Tetapi pada saat yang sama bisa menjadi mitra. Maka, di STIA Abdul Haris, digunakan terma Desa Mitra. Sebab desa pada saat yang sama, juga menjadi pusat keunggulan. Mahasiwa turut belajar, mengalami dan melakanakan praktikum. Meneruskan pelajaran dari apa yang didapatkan dari ruang kuliah.
Satu hal lagi, desa dikelola dengan teknik Knowledge Management. Dimana, sumber-sumber tacid knowledge di desa, dijadikan sebagai sebuah himpunan pengetahuan yang dapat direplikasi dimanapun. Paling minimal, itu bisa memperkaya kemampuan kognitif.
Wahananya bisajadi adalah webssite. Desa dengan menggunakan dana desa, bisa mendorong wujudnya website desa sebagai kanal maklumat. Sementara untuk mengisinya dapat dilakukan dengan gotong royong. Selain perangkat desa, ada karang taruna, knpi, remaja masjid, FKUB, MUI, dan pelbagai elemen masyarakat lainnya yang dapat dimohonkan untuk mengisi konten laman web.
Terakhir, Maros dianugerahi dengan bentangan alam berupa karts. Ini, perlu jadi stimulus bagi pelbagai hal. Diantaranya, dengan melaksanakan ToT Dakwah Berbasis Lingkungan. Materi dakwah selama ini sudah bagus, perlu diteruskan dengan adanya tema-teman lingkungan. Seperti, soal sampah, menebang pohon, penghijauan, konservasi, dll. Sekaligus menjadi sebuah “buku” ceramah tematik soal lingkungan.
Maka, dana desa yang ada itu. Jikalau disishkan ada alokasi untuk Maros yang religius dengan indikator adanya dakwah lingkungan, bisa jadi akan menjadi wahana dalam diversifikasi dakwah yang berciri Maros.
Wallahu a’lam.